Asosiasi BDS Indonesia yang di launching di Jakarta tanggal 27-30 Mei 2002, tidak lahir mendadak. Proses panjang, berliku, dan melelahkan telah dilalui. Berikut kami sampaikan informasi runtutan peristiwa yang telah terjadi.
Jakarta, 23 Agustus 2001
Pada saat kegiatan Workshop pelaksanaan program BDS tanggal 21-23 Agustus 2001 di Gedung YTKI Jakarta muncul dialog keras yang cenderung memanas tentang posisi dan peran BDS dalam program pengembangan sentra yang tengah dikembangkan oleh BPS-KPKM RI. Sekitar 100 peserta workshop dari seluruh Indonesia yang berasal dari berbagai macam institusi (LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Pengembangan Bisnis, dsb), sebagian besar masih memiliki persepsi perlunya peran dominan pemerintah dalam menyediakan jasa layanan terhadap pengembangan UKM, sehingga dukungan yang diberikan BPS-KPKM RI terhadap BDS yang “menalankan” program pengembangan 100 sentra UKMK di Indonesia tahun 2001 juga dituntut harus “sembodo”.
Sebagai bentuk pendekatan baru dalam menyediakan layanan pengembangan usaha bagi UKM, BDS (Business Development Services) relatif belum banyak dikenal oleh lembaga pendampingan dan konsultan UKM, bahkan oleh UKM itu sendiri. Walaupun sebenarnya pola BDS sudah masuk ke Indonesia sejak sekitar tahun 1994 melalui program yang dikembangkan oleh SwissContact dengan dibentuknya WPU Bandung, namun gaung dari program tersebut belum terasa. Baru pada tahun 2001 saat BPS-KPKM RI mengintrodusir perlunya peran BDS dalam pengembangan 100 sentra UKMK, maka wacana BDS dalam perspektif pengembangan sentra menjadi topik hangat yang dibicarakan banyak kalangan.
Saat perbedaan pendapat tentang peran BDS memuncak di arena workshop tersebut, maka DR. Noer Soetrisno (Wakil Kepala BPS-KPKM RI) “menantang” peserta Workshop untuk menjadi “partner/mitra sejajar” bagi BPS-KPKM RI. Ini artinya yang ditawarkan kepada BDS adalah kerjasama, bukan penunjukan sebagai pelaksana program pengembangan sentra. Tantangan ini sungguh mengejutkan para peserta workshop, yang tampaknya tidak siap untuk menapaki peran baru BDS yang bertindak sebagai penyedia jasa layangan pengembangan bisnis dengan berbasis marke driven. Hingga berakhirnya workshop, hal tersebut tidak dapat dituntaskan. Melihat problem tersebut, sebagian peserta workshop yang berasal dari Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Manado, dan Denpasar mencoba mengambil inisiatif untukmembentuk POKJA BDS. Pembentukan pokja didasari atas semangat bersama untuk mencoba membangun kesamaan visi pengembangan BDS ke depan, sehingga lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengembangan sentra bersama dengan BPS-KPKM RI mampu menjadi BDS yang “mandiri”. Sejak itulah Pokja BDS mulai bekerja, dengan titik fokus pada upaya membangun komunikasi, kesepahaman dan pertukaran informasi antar BDS. Di wilayah yang jumlah BDS-nya cukup banyak (seperti Medan, Makassar, Yogya, Surabaya dan lain-lain) mulai muncul pertemuan-pertemuan regional yang membahas beragam topik yang berkait dengan BDS.

